Hari ini cuaca kurang begitu mendukung untuk beraktifitas di
luar rumah. Cuacanya sedikit
mendung. Angin sambung-menyambung meniup
pepohonan yang tinggi menjulang. Dingin
pun terasa begitu menusuk kulit. Ingin
sekali rasanya aku masih ada di pembaringan, merasakan hangatnya balutan
selimut yang mulai lusuh termakan usia.
“ Wi, bisa bantu ibu sebentar?”
“ Iya bu, “ Aku menyusul ibu ke kamarnya.
“ Tolong Wi, angkat kasur ini ke luar.”
“ Ibu mau jemur kasur lagi?”
“ Iya, wi.”
“ Bu, kayanya mau hujan, lagi pula seminggu yang lalu ibu
baru menjemur kasur ini kan? Lagi pula, kasur itu sudah sepantasnya di buang
saja bu. Biar nanti Dewi beli kredit di pasar.”
“Ya sudah kalau kamu tidak mau bantu,ibu juga bisa sendiri.
Tapi jangan harap ibu akan membuang kasur ini.”
Nada suara ibu meninggi.
“ Maaf bu, bukan maksud Dewi begitu..”
“ Sudah lah Wi, toh ibu juga masih kuat.”
Dengan sisa kekuatan yang ada,ibu mengangkat kasur itu
seorang diri. Aku heran, kenapa ibu
begitu rajin menjemur kasur itu. Kasur yang
sudah lepek dan di penuhi tambalan disana – sini, sudah sepantasnya kasur itu
di buang. Andaikan saja, keadaan ekonomi
keluargaku berlebih, akan aku belikan kasur baru untuk ibu tanpa harus kredit.
Kuperhatikan ibu dari jendela kamarnya.
Tubuh tuanya masih mampu mengangkat kasur itu. Ataukah kasur itu yang mulai kehilangan
isinya? Aku perhatikan isi kamar
ibu,yang ada hanya lah barang – barang tua yang mengisi kamar itu. Ranjang besi yang mulai berkarat, lemari tua
yang sudah di makan rayap, dan meja kecil yang berada di pojok kamar dengan vas
bunga baru yang aku beli kemarin di pasar.
Tak sengaja aku melihat amplop lusuh berada di ranjang
ibu. Aku penasaran dengan amplop
itu. Aku buka, dan kubaca isi amplop
lusuh itu.
8 April 1992
Maafkan, aku Maimunah,
selama ini aku hanya menyusahkanmu. Bukanya kebahagiaan yang kau dapatkan
setelah menikah denganku, malah beragam cobaan silih berganti terus menghampri
keluarga kecil kita.
Kini aku harus
mempertanggung jawabkan semua perbuatanku di balik jeruji besi. Hanya kasur ini saja yang bisa aku berikan
untukmu dan anak kecil kita. Jaga baik –
baik anak kita. Maafkan aku Maimunah.
Suamimu
Ahmad
Tak ada kata yang keluar dari mulutku, setelah aku membaca
surat itu. Haya air mata yang tak bisa
aku tahan. Aku langsung menghampiri ibu.
“ Bu, sekarang aku tau betapa berharganya kasur ini untuk
ibu.” Aku terisak menangis. Aku
memberikan amplop lusuh itu kepada ibu.
Air mata ibu pun leleh, membasahi pipi ibu.
“ Maafkan ibu, Wi.
Selama ini ibu selalu merahasiakan ini semua. Sampai sekarang bapak mu ada di penjara. Dulu, bapakmu tidak sengaja memukul seorang
pedagang lauk di pasar, sampai meninggal dunia.
Bapakmu di tuduh mencuri.
Keluarga pedagang itu tak terima dengan kejadian itu dan melaporkan bapakmu
ke polisi. Dan ini, surat terakhir yang
bapak tulis untuk ibu.”
“ Bu, maafkan Dewi selama ini Dewi sering menyusahkan ibu.
Dewi juga minta maaf atas perkataan Dewi tadi. Dewi tidak bermaksud membuat
hati ibu sedih.”
“ Tidak, Wi. Kamu tidak perlu minta maaf, ini semua salah
ibu yang tidak mau berterus terang kepadamu dari dulu. Kamu memang anak ibu yang paling baik.” Ibu
memelukku dengan penuh kehangatan, kami berdua berurai air mata.
Tak pernah kusangka di balik kasur lusuh itu tersimpan cerita
keluargaku yang begitu menyayat hati.
Tak adalagi keinginan di hatiku untuk membuang kasur penuh tambalan itu.
Sampai kapanpun, aku dan ibu tak akan pernah membuang kasur itu.