Senin, 17 Desember 2012

RAHASIA KASUR LUSUH


Hari ini cuaca kurang begitu mendukung untuk beraktifitas di luar rumah.  Cuacanya sedikit mendung.  Angin sambung-menyambung meniup pepohonan yang tinggi menjulang.  Dingin pun terasa begitu menusuk kulit.  Ingin sekali rasanya aku masih ada di pembaringan, merasakan hangatnya balutan selimut yang mulai lusuh termakan usia.
“ Wi, bisa bantu ibu sebentar?”
“ Iya bu, “ Aku menyusul ibu ke kamarnya.
“ Tolong Wi, angkat kasur ini ke luar.”
“ Ibu mau jemur kasur lagi?”
“ Iya, wi.”
“ Bu, kayanya mau hujan, lagi pula seminggu yang lalu ibu baru menjemur kasur ini kan? Lagi pula, kasur itu sudah sepantasnya di buang saja bu. Biar nanti Dewi beli kredit di pasar.”
“Ya sudah kalau kamu tidak mau bantu,ibu juga bisa sendiri. Tapi jangan harap ibu akan membuang kasur ini.”  Nada suara ibu meninggi.
“ Maaf bu, bukan maksud Dewi begitu..”
“ Sudah lah Wi, toh ibu juga masih kuat.”
Dengan sisa kekuatan yang ada,ibu mengangkat kasur itu seorang diri.   Aku heran, kenapa ibu begitu rajin menjemur kasur itu.  Kasur yang sudah lepek dan di penuhi tambalan disana – sini, sudah sepantasnya kasur itu di buang.  Andaikan saja, keadaan ekonomi keluargaku berlebih, akan aku belikan kasur baru untuk ibu tanpa harus kredit.
              Kuperhatikan ibu dari jendela kamarnya.  Tubuh tuanya masih mampu mengangkat kasur itu.  Ataukah kasur itu yang mulai kehilangan isinya?  Aku perhatikan isi kamar ibu,yang ada hanya lah barang – barang tua yang mengisi kamar itu.  Ranjang besi yang mulai berkarat, lemari tua yang sudah di makan rayap, dan meja kecil yang berada di pojok kamar dengan vas bunga baru yang aku beli kemarin di pasar.
Tak sengaja aku melihat amplop lusuh berada di ranjang ibu.  Aku penasaran dengan amplop itu.  Aku buka, dan kubaca isi amplop lusuh itu.
8 April 1992
Maafkan, aku Maimunah, selama ini aku hanya menyusahkanmu. Bukanya kebahagiaan yang kau dapatkan setelah menikah denganku, malah beragam cobaan silih berganti terus menghampri keluarga kecil kita.
Kini aku harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanku di balik jeruji besi.  Hanya kasur ini saja yang bisa aku berikan untukmu dan anak kecil kita.  Jaga baik – baik anak kita. Maafkan aku Maimunah.
Suamimu
Ahmad
Tak ada kata yang keluar dari mulutku, setelah aku membaca surat itu.  Haya air mata yang tak bisa aku tahan.  Aku langsung menghampiri ibu.
“ Bu, sekarang aku tau betapa berharganya kasur ini untuk ibu.” Aku terisak menangis.  Aku memberikan amplop lusuh itu kepada ibu.  Air mata ibu pun leleh, membasahi pipi ibu.
“ Maafkan ibu, Wi.  Selama ini ibu selalu merahasiakan ini semua.  Sampai sekarang bapak mu ada di penjara.  Dulu, bapakmu tidak sengaja memukul seorang pedagang lauk di pasar, sampai meninggal dunia.  Bapakmu di tuduh mencuri.  Keluarga pedagang itu tak terima dengan kejadian itu dan melaporkan bapakmu ke polisi.  Dan ini, surat terakhir yang bapak tulis untuk ibu.”
“ Bu, maafkan Dewi selama ini Dewi sering menyusahkan ibu. Dewi juga minta maaf atas perkataan Dewi tadi. Dewi tidak bermaksud membuat hati ibu sedih.”
“ Tidak, Wi.   Kamu tidak perlu minta maaf, ini semua salah ibu yang tidak mau berterus terang kepadamu dari dulu.  Kamu memang anak ibu yang paling baik.” Ibu memelukku dengan penuh kehangatan, kami berdua berurai air mata.
Tak pernah kusangka di balik kasur lusuh itu tersimpan cerita keluargaku yang begitu menyayat hati.   Tak adalagi keinginan di hatiku untuk membuang kasur penuh tambalan itu. Sampai kapanpun, aku dan ibu tak akan pernah membuang kasur itu.